Sejarah Ritual Upacara Kasada Bromo
Sejarah Ritual Upacara Kasada Bromo – Hari Raya Yadya Kasada atau Upacara Kasada Bromo ialah sebuah hari upacara sesembahan berbentuk persembahan sesajen kepada Sang Hyang Widhi. Setiap bulan Kasada hari-14 dalam penanggalan jawa diadakan upacara persembahan atau sesajen untuk Sang Hyang Widhi serta para leluhur, kisah Rara Anteng (Putri Raja Majapahit) serta Jaka Seger (Putra Brahmana) “asal mula Suku Tengger di ambil dari nama belakang keduanya”,
Sejarah Ritual Upacara Kasada Bromo
pasangan Rara Anteng serta Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, yang mempunyai arti “Penguasa Tengger yang Budiman”.
Suku Tengger, sebagai suku asli yang mendiami Gunung Bromo memiliki berbagai macam ritual adat. Salah satu upacara adat yang populer ialah Upacara Kasada Bromo , merupakan ceremonial dari rakyat Tengger buat persembahan kepada Tuhan yang di tuangkan dalam upcara di Gunung Bromo. Lokasi tepatnya upcara ini berada di Pura Luhur Poten, dengan start jam 12 malam maka upacara ini sungguh sangat hidmat. Masyarakat sekita Bromo familiar dengan menyebut istilah Kasodoan, kasadan atau hari raya kasodoan.
Keunikan dari Upacara Adat Yadnya Kasada ialah dengan ritual pelemparan beragam hasil bumi yang berupa sayuran, buah buahan, atau hewan ternak ayam atau kambing atau sapi yang di lemparkan ke mulut kawah Bromo.
Sebagai pemeluk agama Hindu, Suku Tengger tak seperti pemeluk agama Hindu pada umumnya, mempunyai candi candi sebagai tempat peribadatan, tetapi jika melakukan peribadatan bertempat di punden, danyang serta poten
Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga mandala atau zone.
Mandala Utama
Mandala Utama disebut juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan. Mandala itu sendiri terdiri dari Padma berfungsi sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Padma bentuknya sama candi yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan, tak menggunakan atap yang terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, badan atau batur serta kepala yang disebut sari dilengkapi dengan Bedawang Nala, Garuda, serta Angsa.
Bedawang Nala menggambarkan kura kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor atau dua ekor naga, garuda serta angsa posisi terbang di belakang badan padma yang masing masing menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi padmasana.
Bangunan Sekepat (tiang empat) atau yang lebih besar letaknya di bagian sisi sehadapan dengan bangunan pemujaan/padmasana, menghadap ke timur atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaan serta terbuka keempat sisinya. Fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktivitas serangkaian upacara. Bale Pawedan dan tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan.
Kori Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya mengunakan gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar segi empat atau sisi banyak dengan sisi sisi sekitar depa alit, depa madya atau depa agung. Tinggi bangunan dapat berkisar sebesar atau setinggi tugu sampai sekitar 100 meter memungkinkan pula dibuat lebih tinggi dengan memperhatikan keindahan proporsi candi.
Mandala Madya
Mandala Madya disebut juga jaba tengah, tempat persiapan serta pengiring upacara terdiri dari Kori Agung Candi Bentar, bentuknya sama dengan tugu, kepalanya menggunakan gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar, segi
empat atau segi banyak dengan sisi sisi sekitar satu depa alit, depa madya, depa agung.
Bale Kentongan, disebut bale kul kul lokasinya di sudut depan pekarangan pura, bentuknya susunan tepas, batur, sari serta atap penutup ruangan kul kul atau kentongan. Fungsinya buat tempat kul kul yang dibunyikan awal, akhir serta saat tertentu dari rangkaian upacara. Bale Bengong, disebut juga pewarengan suci letaknya di antara jaba tengah/mandala madya, mandala nista atau jaba sisi.
Bentuk bangunannya empat persegi atau memanjang deretan tiang dua dua atau banyak luas bangunan untuk dapur. Fungsinya buat mempersiapkan keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari desa tempat pemukiman.
Mandala Nista
Mandala Nista disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar ke dalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar atau bangunan penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan atau di jabaan tengah sisi menggunakan candi bentar serta pintu masuk ke jeroan utama menggunakan Kori Agung.
Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada beragam bentuk variasi serta kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya. Bangunan pura pada umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menuju ke arah timur demikian pula pemujaan serta persembahyangan menghadap ke arah timur ke arah terbitnya matahari.